Jumat, 05 Agustus 2011

Pancasila 1 Juni

Pancasila. Kita orang Indonesia pasti tahu tentang 5 prinsip yang menjadi dasar negara kita itu. Nah, pernahkah anda membaca teks asli Pancasila, yaitu versi yang termuat dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 itu? Jika pernah, mungkin beberapa dari anda, terutama yang Muslim, bertanya dalam hati, "Kenapa sila Ketuhanan kok diletakkan paling akhir, sedangkan yang pertama malah sila Kebangsaan? Apa Bung Karno mau melecehkan agama? Jangan-jangan, beliau itu cuma antek sekuler Barat?" Ya, mungkin kalimatnya tidak persis seperti itu, namun intinya sama.

Awalnya, saya juga berpikiran seperti itu, namun setelah saya membaca sebuah buku yang berjudul Pancasila 1 Juni vs Syariat Islam, saya mulai memahami alasan Presiden pertama kita tersebut.

Pertama, sebenarnya Bung Karno sama sekali tidak melecehkan agama, dengan penempatan sila Ketuhanan tersebut. Mengapa? Anda yang Muslim pasti ingat bahwa Allah SWT adalah Al-Awwal sekaligus Al-Akhir, Yang Pertama dan Yang Terakhir. Jadi, tidak masalah jika sila Ketuhanan itu tidak ditempatkan paling awal, tapi paling akhir. Selain itu, penempatan ini melambangkan pemahaman beliau terhadap Tuhan dan agama: beliau menempatkan Tuhan sebagai tujuan akhir dari segala hal di dunia ini, sesuatu yang diajarkan kepada kita dalam bentuk sebuah kalimat thayyibah: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Kedua, Bung Karno memilih menempatkan sila Kebangsaan sebagai sila pertama karena beliau tahu dan paham bahwa rasa kebangsaanlah yang menyatukan bangsa Indonesia, bukan lainnya. Indonesia yang terdiri dari orang yang memiliki latar belakang agama, suku, kelas sosial, serta status yang berbeda-beda hanya bisa menjadi satu oleh rasa kebangsaan Indonesia. Hal ini sudah terbukti pada peristiwa Sumpah Pemuda, di mana para pemuda Indonesia, baik orang Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali, Kalimantan, keturunan Cina, keturunan Arab, dll; baik Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, baik priyayi maupun rakyat jelata; semua mengucapkan sumpah yang sama, sumpah pemuda yang terkenal itu.

Dilihat lebih jauh lagi, filosofi yang terkandung dalam Pancasila ternyata memiliki kecocokan dengan pandangan Harvey Cox dalam The Secular City yang pernah saya ringkas sebulan yang lalu. Di mana kecocokannya? Perhatikan lagi konsep sila Ketuhanan Bung Karno. Beliau tidak mendefinisikan sila Ketuhanan sebagai pemujaan terhadap Tuhan tertentu, tapi sebagai sesuatu yang beliau sebut "religiusiteit" atau rasa keberagamaan. Maksudya, bukan pemujaan terhadap Tuhannya yang menjadi fokus utama, tapi perasaan bahwa kehidupan ini diatur oleh sebuah kekuatan yang ada di atas kemampuan manusia. Hal ini membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang tidak berdasarkan satu agama tertentu, sesuatu yang sesuai dengan tahapan desakralisasi politik dalam proses sekularisai menurut Cox. Ini membuat saya takjub, dua pemikir yang muncul dari lingkungan yang berbeda (Harvey Cox mendasarkan tesisnya pada lingkungan Amerika Serikat yang mayoritas Kristen, Sukarno mendasarkan Pancasila pada lingkungan Indonesia yang mayoritas Muslim) ternyata memiliki persamaan pandangan dalam suatu hal. Apakah ini tanda bahwa Allah SWT memang menghendaki manusia untuk menempuh jalan tersebut? Wallahu a'lam

Kepada Bapak Harvey Cox dan Bapak Hamka Haq, maaf jika saya salah memahami buku Anda berdua. Saya ini masih anak remaja yang belum ada apa - apanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar