Pengumuman!
Blog ini pindah ke http://adityaatmaja-ata.blogspot.com/
Senin, 22 Agustus 2011
Jumat, 05 Agustus 2011
Pancasila 1 Juni
Pancasila. Kita orang Indonesia pasti tahu tentang 5 prinsip yang menjadi dasar negara kita itu. Nah, pernahkah anda membaca teks asli Pancasila, yaitu versi yang termuat dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 itu? Jika pernah, mungkin beberapa dari anda, terutama yang Muslim, bertanya dalam hati, "Kenapa sila Ketuhanan kok diletakkan paling akhir, sedangkan yang pertama malah sila Kebangsaan? Apa Bung Karno mau melecehkan agama? Jangan-jangan, beliau itu cuma antek sekuler Barat?" Ya, mungkin kalimatnya tidak persis seperti itu, namun intinya sama.
Awalnya, saya juga berpikiran seperti itu, namun setelah saya membaca sebuah buku yang berjudul Pancasila 1 Juni vs Syariat Islam, saya mulai memahami alasan Presiden pertama kita tersebut.
Pertama, sebenarnya Bung Karno sama sekali tidak melecehkan agama, dengan penempatan sila Ketuhanan tersebut. Mengapa? Anda yang Muslim pasti ingat bahwa Allah SWT adalah Al-Awwal sekaligus Al-Akhir, Yang Pertama dan Yang Terakhir. Jadi, tidak masalah jika sila Ketuhanan itu tidak ditempatkan paling awal, tapi paling akhir. Selain itu, penempatan ini melambangkan pemahaman beliau terhadap Tuhan dan agama: beliau menempatkan Tuhan sebagai tujuan akhir dari segala hal di dunia ini, sesuatu yang diajarkan kepada kita dalam bentuk sebuah kalimat thayyibah: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Kedua, Bung Karno memilih menempatkan sila Kebangsaan sebagai sila pertama karena beliau tahu dan paham bahwa rasa kebangsaanlah yang menyatukan bangsa Indonesia, bukan lainnya. Indonesia yang terdiri dari orang yang memiliki latar belakang agama, suku, kelas sosial, serta status yang berbeda-beda hanya bisa menjadi satu oleh rasa kebangsaan Indonesia. Hal ini sudah terbukti pada peristiwa Sumpah Pemuda, di mana para pemuda Indonesia, baik orang Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali, Kalimantan, keturunan Cina, keturunan Arab, dll; baik Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, baik priyayi maupun rakyat jelata; semua mengucapkan sumpah yang sama, sumpah pemuda yang terkenal itu.
Dilihat lebih jauh lagi, filosofi yang terkandung dalam Pancasila ternyata memiliki kecocokan dengan pandangan Harvey Cox dalam The Secular City yang pernah saya ringkas sebulan yang lalu. Di mana kecocokannya? Perhatikan lagi konsep sila Ketuhanan Bung Karno. Beliau tidak mendefinisikan sila Ketuhanan sebagai pemujaan terhadap Tuhan tertentu, tapi sebagai sesuatu yang beliau sebut "religiusiteit" atau rasa keberagamaan. Maksudya, bukan pemujaan terhadap Tuhannya yang menjadi fokus utama, tapi perasaan bahwa kehidupan ini diatur oleh sebuah kekuatan yang ada di atas kemampuan manusia. Hal ini membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang tidak berdasarkan satu agama tertentu, sesuatu yang sesuai dengan tahapan desakralisasi politik dalam proses sekularisai menurut Cox. Ini membuat saya takjub, dua pemikir yang muncul dari lingkungan yang berbeda (Harvey Cox mendasarkan tesisnya pada lingkungan Amerika Serikat yang mayoritas Kristen, Sukarno mendasarkan Pancasila pada lingkungan Indonesia yang mayoritas Muslim) ternyata memiliki persamaan pandangan dalam suatu hal. Apakah ini tanda bahwa Allah SWT memang menghendaki manusia untuk menempuh jalan tersebut? Wallahu a'lam
Kepada Bapak Harvey Cox dan Bapak Hamka Haq, maaf jika saya salah memahami buku Anda berdua. Saya ini masih anak remaja yang belum ada apa - apanya.
Awalnya, saya juga berpikiran seperti itu, namun setelah saya membaca sebuah buku yang berjudul Pancasila 1 Juni vs Syariat Islam, saya mulai memahami alasan Presiden pertama kita tersebut.
Pertama, sebenarnya Bung Karno sama sekali tidak melecehkan agama, dengan penempatan sila Ketuhanan tersebut. Mengapa? Anda yang Muslim pasti ingat bahwa Allah SWT adalah Al-Awwal sekaligus Al-Akhir, Yang Pertama dan Yang Terakhir. Jadi, tidak masalah jika sila Ketuhanan itu tidak ditempatkan paling awal, tapi paling akhir. Selain itu, penempatan ini melambangkan pemahaman beliau terhadap Tuhan dan agama: beliau menempatkan Tuhan sebagai tujuan akhir dari segala hal di dunia ini, sesuatu yang diajarkan kepada kita dalam bentuk sebuah kalimat thayyibah: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Kedua, Bung Karno memilih menempatkan sila Kebangsaan sebagai sila pertama karena beliau tahu dan paham bahwa rasa kebangsaanlah yang menyatukan bangsa Indonesia, bukan lainnya. Indonesia yang terdiri dari orang yang memiliki latar belakang agama, suku, kelas sosial, serta status yang berbeda-beda hanya bisa menjadi satu oleh rasa kebangsaan Indonesia. Hal ini sudah terbukti pada peristiwa Sumpah Pemuda, di mana para pemuda Indonesia, baik orang Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali, Kalimantan, keturunan Cina, keturunan Arab, dll; baik Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, baik priyayi maupun rakyat jelata; semua mengucapkan sumpah yang sama, sumpah pemuda yang terkenal itu.
Dilihat lebih jauh lagi, filosofi yang terkandung dalam Pancasila ternyata memiliki kecocokan dengan pandangan Harvey Cox dalam The Secular City yang pernah saya ringkas sebulan yang lalu. Di mana kecocokannya? Perhatikan lagi konsep sila Ketuhanan Bung Karno. Beliau tidak mendefinisikan sila Ketuhanan sebagai pemujaan terhadap Tuhan tertentu, tapi sebagai sesuatu yang beliau sebut "religiusiteit" atau rasa keberagamaan. Maksudya, bukan pemujaan terhadap Tuhannya yang menjadi fokus utama, tapi perasaan bahwa kehidupan ini diatur oleh sebuah kekuatan yang ada di atas kemampuan manusia. Hal ini membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang tidak berdasarkan satu agama tertentu, sesuatu yang sesuai dengan tahapan desakralisasi politik dalam proses sekularisai menurut Cox. Ini membuat saya takjub, dua pemikir yang muncul dari lingkungan yang berbeda (Harvey Cox mendasarkan tesisnya pada lingkungan Amerika Serikat yang mayoritas Kristen, Sukarno mendasarkan Pancasila pada lingkungan Indonesia yang mayoritas Muslim) ternyata memiliki persamaan pandangan dalam suatu hal. Apakah ini tanda bahwa Allah SWT memang menghendaki manusia untuk menempuh jalan tersebut? Wallahu a'lam
Kepada Bapak Harvey Cox dan Bapak Hamka Haq, maaf jika saya salah memahami buku Anda berdua. Saya ini masih anak remaja yang belum ada apa - apanya.
Jumat, 08 Juli 2011
The Secular City by Harvey Cox ----- Resume dan Komentar
"The Secular City" adalah sebuah buku karangan Harvey Cox. Dalam buku ini, Cox mengungkapkan bahwa sekularisasi tidaklah bertentangan dengan agama (terutama agama kristen), melainkan sejalan dan setujuan.
Pertama, Cox menerangkan bahwa peradaban manusia terbagi menjadi 3 tahap : tribe (suku), town (desa), dan technopolis (kota modern). Setiap tahap ini memiliki ciri masing - masing. Pada tahap tribe, keanggotaan dalam masyarakat didasarkan pada garis keturunan. Seseorang yang tidak berasal dari leluhur yang sama dengan mayoritas masyarakat tidak akan bisa menjadi anggota masyarakat itu. Seseorang tidak memiliki banyak kebebebasan dalam tindakannya, karena hampir seluruh tindakannya telah diatur dengan ketat dalam adat. Hubungan keluarga adalah yang paling tingggi nilainya dibanding hubungan lain, sehingga kesetiaan pada keluarga harus diutamakan dibanding segala hal lain. Sementara itu, pada tahap town, keanggotaan dalam masyarakat tidak lagi didasarkan pada garis keturunan, tapi lebih kepada tempat domisili. Pada tahap ini, masyarakat sudah bisa menerima "orang asing" yang bukan berasal dari leluhur yang sama dengan mayoritas masyarakat, tapi telah bersumpah setia kepada masyarakat tersebut sebagai bagian dari mereka. Seseorang mulai memiliki kebebasan dalam tindakannya, karena adat yang ada tidak mengikat sekuat pada tahap tribe. Pada tahap ini, hal yang paling utama adalah ketertiban umum dalam wilayah masyarakat, dan kesetiaan pada masyarakat harus lebih diutamakan daripada kesetiaan pada keluarga. Pada initinya, tahap town adalah sebuah transisi dari tahap tribe menuju tahap technopolis, dimana hal-hal yang menjadi tujuan dari proses sekularisasi sedang dicapai.
Menurut Cox, sekularisasi dan sekularisme adalah 2 hal yang berbeda. Sekularisasi adalah sebuah proses yang membebaskan manusia dan dunia dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisikal yang tertutup dan mendorong sebuah pandangan hidup yang terbuka yang memiliki dasar dalam kitab suci (terutama Bibel umat Kristen), sementara sekularisme adalah sebuah pandangan hidup tertutup baru yang bukan hanya tidak sesuai, melainkan bertentangan dengan sekularisasi dan kitab suci manapun.
Menurut Cox, ada 3 tahapan sekularisasi, yang dilambangkannya dengan 3 bagian dari kitab suci umat Kristen. Yang pertama adalah pemisahan antara Tuhan dan alam, yang dilambangkannya dengan kitab Genesis Bibel, yang kedua adalah pemisahan antara agama dan negara, yang dilambangkannya dengan kitab Exodus Bibel, dan yang terakhir adalah pemisahan antara nilai-nilai moral dan ajaran agam, yang dilambangkannya dengan perjanjian Sinai.
Kemudian,Cox memaparkan tentang wujud dan gaya "kota sekuler" atau masyarakat ideal yang diimpikannya. Ia memaparkan bahwa wujud sosial atau dinamika masyarakat "kota sekuler" itu dapat dilambangkan dengan switchboard operator telepon, yang melambangkan anonimitas manusia dalam "kota sekuler", atau sebuah perempatan jalan layang yang melambangkan mobilitas manusia dalam "kota sekuler". Bagi Cox, anonimitas dan mobilitas adalah 2 hal terpenting dalam dinamika masyarakat "kota sekuler", yang tanpanya mereka tidak akan bisa hidup sebagai manusia. Sementara itu, gaya atau pola pikir masyarakat "kota sekuler" dapat dirangkum dalam 2 sifat, pragmatis (mengukur segala sesuatu berdasarkan fungsi dan manfaatnya) dan profan (memandang segala sesuatu dalam sudut pandang dunia yang kita diami saat ini).
Pertama, Cox menerangkan bahwa peradaban manusia terbagi menjadi 3 tahap : tribe (suku), town (desa), dan technopolis (kota modern). Setiap tahap ini memiliki ciri masing - masing. Pada tahap tribe, keanggotaan dalam masyarakat didasarkan pada garis keturunan. Seseorang yang tidak berasal dari leluhur yang sama dengan mayoritas masyarakat tidak akan bisa menjadi anggota masyarakat itu. Seseorang tidak memiliki banyak kebebebasan dalam tindakannya, karena hampir seluruh tindakannya telah diatur dengan ketat dalam adat. Hubungan keluarga adalah yang paling tingggi nilainya dibanding hubungan lain, sehingga kesetiaan pada keluarga harus diutamakan dibanding segala hal lain. Sementara itu, pada tahap town, keanggotaan dalam masyarakat tidak lagi didasarkan pada garis keturunan, tapi lebih kepada tempat domisili. Pada tahap ini, masyarakat sudah bisa menerima "orang asing" yang bukan berasal dari leluhur yang sama dengan mayoritas masyarakat, tapi telah bersumpah setia kepada masyarakat tersebut sebagai bagian dari mereka. Seseorang mulai memiliki kebebasan dalam tindakannya, karena adat yang ada tidak mengikat sekuat pada tahap tribe. Pada tahap ini, hal yang paling utama adalah ketertiban umum dalam wilayah masyarakat, dan kesetiaan pada masyarakat harus lebih diutamakan daripada kesetiaan pada keluarga. Pada initinya, tahap town adalah sebuah transisi dari tahap tribe menuju tahap technopolis, dimana hal-hal yang menjadi tujuan dari proses sekularisasi sedang dicapai.
Menurut Cox, sekularisasi dan sekularisme adalah 2 hal yang berbeda. Sekularisasi adalah sebuah proses yang membebaskan manusia dan dunia dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisikal yang tertutup dan mendorong sebuah pandangan hidup yang terbuka yang memiliki dasar dalam kitab suci (terutama Bibel umat Kristen), sementara sekularisme adalah sebuah pandangan hidup tertutup baru yang bukan hanya tidak sesuai, melainkan bertentangan dengan sekularisasi dan kitab suci manapun.
Menurut Cox, ada 3 tahapan sekularisasi, yang dilambangkannya dengan 3 bagian dari kitab suci umat Kristen. Yang pertama adalah pemisahan antara Tuhan dan alam, yang dilambangkannya dengan kitab Genesis Bibel, yang kedua adalah pemisahan antara agama dan negara, yang dilambangkannya dengan kitab Exodus Bibel, dan yang terakhir adalah pemisahan antara nilai-nilai moral dan ajaran agam, yang dilambangkannya dengan perjanjian Sinai.
Kemudian,Cox memaparkan tentang wujud dan gaya "kota sekuler" atau masyarakat ideal yang diimpikannya. Ia memaparkan bahwa wujud sosial atau dinamika masyarakat "kota sekuler" itu dapat dilambangkan dengan switchboard operator telepon, yang melambangkan anonimitas manusia dalam "kota sekuler", atau sebuah perempatan jalan layang yang melambangkan mobilitas manusia dalam "kota sekuler". Bagi Cox, anonimitas dan mobilitas adalah 2 hal terpenting dalam dinamika masyarakat "kota sekuler", yang tanpanya mereka tidak akan bisa hidup sebagai manusia. Sementara itu, gaya atau pola pikir masyarakat "kota sekuler" dapat dirangkum dalam 2 sifat, pragmatis (mengukur segala sesuatu berdasarkan fungsi dan manfaatnya) dan profan (memandang segala sesuatu dalam sudut pandang dunia yang kita diami saat ini).
Rabu, 15 Juni 2011
Some (un)Wise Words....
- Kita membentuk takdir dan takdir membentuk kita.
- Jalan hidup kita ditentukan oleh bagaimana kita menyikapi kondisi yang ada dan membangun kondisi yang baru.
- Tidak ada hal yang rahasia di dunia ini, karena Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui
Sabtu, 28 Mei 2011
Blaze
Fire and electricity. 2 things that seemed to be very different. Fire burns wood, but is extinguished by water., Meanwhile, electricity destroys water, but is stopped by wood. There are so many differences between them. But, if we see them in a different light, we will find that they have a lot of similarities too.
First, let's define them. What is fire? Fire is essentially heat. And heat is the movement of atoms and molecules inside matter. And, what is electricity? Electricity is the movement of electrons between atoms and molecules. See? We find one similarity. Both of them involve movement. Essentially, they are kinetic energy.
Second, fire has another meaning: combustion. And what is combustion? A chemist will tell you that combustion is the reaction between a substance (usually an organic one) with oxygen. This reaction is classified into the redox class. What is redox? Redox (reduction-oxidation) is a kind of chemical reaction that involves electron transfer, or in other words, electricity. Now we have an interesting relation between them: fire is actually electricity.
That are some of their similarities. See? They are not so different...
First, let's define them. What is fire? Fire is essentially heat. And heat is the movement of atoms and molecules inside matter. And, what is electricity? Electricity is the movement of electrons between atoms and molecules. See? We find one similarity. Both of them involve movement. Essentially, they are kinetic energy.
Second, fire has another meaning: combustion. And what is combustion? A chemist will tell you that combustion is the reaction between a substance (usually an organic one) with oxygen. This reaction is classified into the redox class. What is redox? Redox (reduction-oxidation) is a kind of chemical reaction that involves electron transfer, or in other words, electricity. Now we have an interesting relation between them: fire is actually electricity.
That are some of their similarities. See? They are not so different...
Minggu, 22 Mei 2011
SPECIAL EDITION - "Yunani Kuno" (Ancient Greece)
Yeah, this is a simple bulletin I made for my History assignment...
Interested? Contact me at : what_isa@yahoo.co.id for the real softcopy version
Interested? Contact me at : what_isa@yahoo.co.id for the real softcopy version
Sabtu, 21 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)